Pak Alui
raymunduswendi | April 18, 2011 | Hasil Penelitian Sastra Daerah|Sastra Jadilah yang pertamax!
Hasil Penelitian Sastra Daerah,
Sastra
| | Rating: 100
Cerita Cangceriat
raymunduswendi | April 18, 2011 | Hasil Penelitian Sastra Daerah|Sastra Jadilah yang pertamax!
Pada zaman dahulu, hiduplah seekor burung. Burung itu bernama Cangceriat.
Ia sangat suka hinggap di ranting pohon yang rendah dan kecil. Burung
cangceriat ukuran tubuhnya kecil.
Pada suatu hari di tepi ladang cangceriat bertengger disebatang pohon yang
kecil. Ia berbunyi dengan merdunya. Cangceriat... cangceriat... cangceriat
begitulah bunyinya. Disebelah pohon tempat Cangceriat bertengger ada seekor
rusa. Rusa tersebut melihat cangceriat bertengger lalu diserangnyalah Cangceriat,
Canggeriat kini berada dalam mulut si rusa, namun rusa tidak menelannya. Ia
hanya mengulumnya saja.
Cangceriat yang berada di dalam mulut si rusa berpikir, bagaimana caranya
sehingga ia bisa keluar dari mulut si rusa. Lalu cangceriat pun mulai berbunyi.
“cang...cangceriat.... cang...cangceriat.... berimbun padi, sekarang induk aku
pasti sedang memasak di rumah” Si rusa hanya berbunyi “hemmm” mendengar cerita
cangceriat. Terus-menerus Cangceriat berbunyi. cang...cangceriat....
cang...cangceriat.... berimbun padi, kalau sudah masak, induk aku makan,
setelah makan induk aku bersihkan tangannya, setelah makan dan kenyang induk
aku berak, berak tainya berbuny prek kebebek”. Mendengar bunyi prek kebebek,
rusa pun tertawa terbahak-bahak, sehingga terbukalah mulut si rusa. Cangceriat
tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, kesempatan seperti itulah yang ia cari.
Cangceriat pun terbang keluar melesat dengan cepatnya. Ketika ia keluar, ia
menabrak dua gigi rusa. Gigi tersebut menjadi patah dan rusa itu menjadi
ompong. Rusa pun kalah bertarung dengan cangceriat yang kecil, kini cangceriat telah
bebas dari mulut rusa dengan mematahkan dua gigi si rusa.
Hasil Penelitian Sastra Daerah,
Sastra
| | Rating: 100
Cerita Kok Enggang
raymunduswendi | April 18, 2011 | Hasil Penelitian Sastra Daerah|Sastra Jadilah yang pertamax!
Pada zaman dahulu, hiduplah dua bersaudara
yang suka bermain gasing. Setiap hari mereka ditinggal oleh orang tua orang tua
mereka pergi ke ladang. Dua bersaudara ini dititipkan oleh orang tua mereka
pada orang tua yang tidak menikah. Setiap hari mereka selalu bermain gasing,
ketika mereka merasa lapar, mereka pulang ke rumah. Setibanya di rumah, mereka
membuka tudung saji, di dalamnya sudah disediakan nasi dan sayur oleh orang tua
mereka. Begitulah kegiatan mereka setiap harinya.
Pada suatu hari, ketika mereka sudah lapar
setelah bermain gasing, mereka pulang ke rumah. Seperti biasanya mereka
langsung membuka tudung saji. Tetapi ketika membuka tudung saji mereka tidak
melihat piring yang biasanya terisi nasi kini berisi gasing dan mangkuk yang
biasanya berisi sayur kini berisi tali gasing. Lalu berkatalah satu di antara
mereka
“Ngapa-ngapa orang tua kita nyiksa kita, kita
disuruh makan gasing, laparlah kita nanti”. Kata abangnya.
Mereka menyangka kalau yang mengisi tudung
saji dengan gasing dan tali gasing tadi adalah orang tua mereka. Padahal orang
tua yang tidak menikah yang mengasuh mereka tadilah yang menukarkan nasi dan
sayur yang disediakan orang tua mereka dengan gasing dan tali gasing. Tetapi
dua bersaudara ini menyangka yang berbuat demikian adalah orang tua mereka.
Maka marahlah mereka kepada orang tua mereka. Lalu abangnya mengajak adiknya
untuk membuat sayap.
“Kalau orang tua kita memperlakukakn kita
seperti itu, bagus kita buat sayap”, ajak sang abang kepada adik.
Lalu mereka pergi mencari daun bambu yang
kecil-kecil untuk membuat sayap, kemudian mencari getah kayu “pelayi” untuk
menempelkannya. “Dek, coba buat punyamu dulu” kata abang kepada adiknya.
Mulailah dua bersaudara ini menempelkan daun-daun bambu tersebut ke tangan,
badan dan muka adiknya. Setelah selesai semua bagian ditempel, lalu sang abang
meminta adiknya untuk mencoba terbang. “Purrrr” terbanglah sang adik.
“Oh dah bisa Dek, coba turun, sekarang
kita buat punya abang” kata abangnya pada adiknya.
Lalu turunlah adiknya untuk membantu
menempelkan daun bambu tersebut ke badan abangnya.
Setelah selesai punya abangnya ditempel,
mereka pun mencoba terbang bersama.
“Coba kita terbang sama-sama” kata
abangnya.
Purrrr, terbanglah mereka. Mereka pun
terus berlatih, mula-mula dari tempat yang rendah, makin lama makin mahirlah
mereka terbang, lalu mereka bertengger di dahan pohon.
“sekarang kita bisa pergi ke ladang, kita
liat mama dan bapak di ladang”. Kata abangnya. Lalu abangnya membuat suatu
kalimat “Kok ko ja’ beh dek, ja omo’ enggang, ama’ menjara’ ino’ menjiro”, kok
enggang.
Setelah sang abang mengucapka bagian “Kok
ko ja’ beh dek, ja omo’ enggang, ama’ menjara’ ino’ menjiro”, adiknya menjawab
dengan kok, kemudian abangnya menjawab lagi dengan jawaban “enggang”. Itulah
kata-kata yang diucapkan mereka sepanjang jalan ketika mereka terbang menuju
ladang orang tua mereka. Arti kata tersebut adalah, “nanti adek bilang kok,
abang bilang enggang, mama dan bapak menyiksa”.
Setelah sampai diladang orang tua mereka,
mereka hinggap di sebatang pohon yang besar, kemudian mereka mengelilingi
ladang orang tuanya sambil mengucapkan kalimat “Kok ko ja’ beh dek, ja omo’
enggang, ama’ menjara’ ino’ menjiro”, kok enggang.
Kedua orang tua mereka yang sedang bekerja
di ladang merasa heran dengan suara burung-burung yang aneh tersebut.
“Pak, ngapa suara burung tu macam suara
manusia ya? Katanya kita nyiksa mereka. Ndak kah itu anak kita” kata istri
bertanya pada suaminya.
“entahlah, kita pulang jag” kata suaminya
kepada istrinya.
Ketika orang tuanya pulang, dua bersaudara
yang telah menjadi burung tadi pun ikut pulang. Mereka selalu mengucapkan
kalimat “Kok ko ja’ beh dek, ja omo’ enggang, ama’ menjara’ ino’ menjiro”, kok
enggang sepanjang perjalanan pulang.
Setibanya di rumah, kedua orang tua mereka
membuka pintu rumah, mereka mencari kedua anaknya tersebut, dilihatnya di
kamar, tidak mereka temukan kedua anaknya. Burung yang tadi ikut pulang dari
ladang hinggap di atap rumah mereka.
Setelah mencari tetapi tidak menemukan
anak-anaknya, kedua orang tua tersebut baru menyadari bahwa memang anak
merekalah yang menjadi burung tadi.
“saja memang itulah anak kita, bagaimana
mereka bisa jadi burung, jadi burung Kok Enggang”. kata orang tuanya.
“Turun nak, turun, endak bapak dan mama
nyiksa kalian“ kata mama mereka meminta agar mereka turun dari atap.
“Kami ndak mau turun, memang kayak ginilah
kami sampai nanti kami tidak bisa kembali ke kalian lagi” kata satu di antar
burung tersebut.
“Kamu yang pandai memanjat, panjatlah
tangkap bawa turun anak kita” kata si istri menyuruh suaminya untuk memanjat ke
atap rumah untuk mengambil anak mereka.
Lalu mulailah suaminya memanjat ke atap,
tetapi malang nasibnya. Ia terjatuh lalu meninggal. Istrinya yang tidak bisa
memanjat lalu menangis karena tidak bisa membawa anaknya kembali, ia menangis
setiap hari, siang-malam. Lalu akhirnya ibu dari anak tersebut pun meninggal
karena sedih melihat anaknya menjadi burung. Kedua anak tersebut lalu menjadi
burung Enggang.
Hasil Penelitian Sastra Daerah,
Sastra
| | Rating: 100
Kopi Termahal di Dunia Berasal dari Indonesia
raymunduswendi | April 09, 2011 | Jurnalistik Jadilah yang pertamax!![]() |
| Seekor Luwak dalam posisi sadar kamera |
Para penggila kopi tentunya tidak asing
dengan nama kopi luwak. Kopi luwak adalah kopi termahal di dunia. Mengapa
dinamakan kopi luwak? Karena kopi ini merupakan kopi yang diproduksi dari biji
kopi pilihan yang telah dimakan dan melewati saluran pencernaan binatang
bernama luwak. Kemasyhuran kopi ini telah terkenal sampai luar negeri.
Bahkan di Amerika Serikat, terdapat kafe atau kedai yang menjual kopi
luwak (civet coffee) dengan harga yang cukup mahal. Kopi yang dikais dari
kotoran luwak ini bisa mencapai harga AS$100 per 450 gram. Hanya saja kebenaran
kopi yang dijual adalah benar-benar kopi luwak masih dipertentangkan.
Kemasyhuran kopi ini diyakini karena mitos
pada masa lalu, ketika perkebunan kopi dibuka besar-besaran
pada masa pemerintahan Hindia Belanda sampai dekade 1950-an, di mana saat itu
masih banyak terdapat binatang luwak, sejenis musang.
Kopi luwak asli berasal dari Lampung
Barat. Luwak, atau lengkapnya musang luwak, senang sekali mencari
buah-buahan yang cukup baik dan masak termasuk buah kopi sebagai makanannya.
Luwak akan memilih buah kopi yang betul-betul masak sebagai makanannya, dan
setelahnya, biji kopi yang dilindungi kulit keras dan tidak tercerna akan
keluar bersama kotoran luwak. Biji kopi seperti ini, pada masa lalu sering
diburu para petani kopi, karena diyakini berasal dari biji kopi terbaik dan
telah difermentasikan secara alami dalam perut luwak. Dan konon, rasa kopi
luwak ini memang benar-benar berbeda dan spesial di kalangan para penggemar dan
penikmat kopi. (rwen)
Jurnalistik
| | Rating: 100
Langganan:
Komentar (Atom)
