Eng ing eng...
“Jujur itu sangat sulit, kecuali kepepet” Kutipan
tersebut kutemui beberapa waktu lalu di satu media jejaring sosial bernama
twitter. Entah kenapa dalam waktu yang berdekatan, seakan setelah
mengupdet kutipan tersebut di Facebook, kejujuran perasaanku terhadap
seseorang dipertanyakan. Sebenarnya bukan status itu yang menyebabkan
pertanyaan itu timbul. Hanya saja aku merasakan moment update status itu
berdekatan sekali dengan pertanyaan yang muncul. Dan sepertinya keadaan dan
desakan itu telah membuat aku kepepet yang artinya aku harus jujur, walaupun
katanya kejujuran itu kadang menyakitkan. Ia menyakitkan karena harus mengingat
dan memutar balik waktu yang telah lama berlalu serta kenangan lama yang akan
terkenang kembali. Yah, ini sebagai awalan saja.
Kejadian ini terjadi sekitar lima tahun yang lalu.
Berawal dari bahu yang telah disandari seseorang. Sebuah rasa yang berbeda
tumbuh menjelma menjadi rasa yang nampaknya akan berujung indah. Entah apa yg
menjadi alasan kenapa bahu itu dengan mudah dan rela aku berikan padamu untuk
bersandar. Itu tampak refleks yang masih murni dan alami.
Perlahan rasa itu kian tumbuh. Ingin rasa kulepas agar
terasa bebas. Tapi dilema timbul kala ku tahu kau telah bersama yang lain.
Bagiku itu terlalu awal. Memang kita dekat dan akrab. Aku pun tahu kau punya
rasa yang kupunya juga. Tapi, aku tak tahu pasti apa alasan dibalik hubungan
kalian itu. Ada spekulasi lain yang terdengar kalau itu hanya pelarian.
Itu masa dimana aku terlalu polos, belum banyak
pertimbangan akan hal lain yang kelak mungkin akan berpengaruh pada kisah
selanjutnya. Ya, satu hal yang baru ku sadar, kita “berbeda”. Sering kali aku
terus berpikir bagaimana akhir dari perbedaan ini. Ketika dilema itu kembali
terjadi, aku mulai berusaha lepas dari pikiran polosku. Kita begitu dekat,
begitu akrab.
Pikiranku mulai merangkak ke depan tentang
persahabatan kita yang mungkin bias retak karena bila rasa itu terjadi dan lalu
terhenti dengan cara yg tak diingini. Yah… berawal dari pikiran yg sedikit
penuh warna ini. Rasa sayangku padanya kuubah. Ia ku anggap adik, dengan begitu
aku tetap masih bisa memberikan rasa sayangku padanya. Perlahan tapi ku yakin
aku bisa. Rasa itu telah berubah.
Mungkin tampak berbeda karena aku tak pandai
memanjakan seorang adik layaknya adik. Apalagi adik perempuan karena ku tak
punya cukup pengalaman. Yah… hingga kini rasa itu telah berubah. Itu menurutku,
belum tentu menurut orang lain. Lagi pula dia juga telah berpunya. Dan aku
bahagia bila ia bahagia. Terutama ia juga telah menganggap aku sebagai
abangnya. Dan ku rasa itu akan sampai akhir dimana kehidupan kita berakhir
pula. kadang bila ingat masa lalu, apa lagi dengar lagu seventeen yang berjudul
“Jalan Terbaik”, kadang senyum-senyum sendiri. Intinya aku akan tetap
menyayanginya sebagai adik.
ach sudahlah
BalasHapusLumayanlah
HapusYa ya yaa...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusLumayanlah
BalasHapus