Cuci Pantat vs Cuci Mata

raymunduswendi | Mei 09, 2017 |
Menjadi seorang guru bukanlah pekara mudah dimasa sekarang ini. Zaman berubah, teknologi berkembang, cara berpikir dan berperilaku ikut menyesuaikan. Bila tak pandai menyikapi, tentu semua akan larut dan tenggelam dalam budaya individualis. Anak-anak juga demikian. Lingkungan tempat mereka berada sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik dan mentalnya. Lingkungan baik, baik pula perilaku dan kepribadiannya.

Siapa bilang menjadi tenaga pengajar sekarang mudah. Khususnya sebagai pengalaman penulis sebagai seorang guru di sekolah dasar. 


Sekolah dasar adalah tempat yang bisa dikatakan sebagai pondasi untuk membentuk seorang siswa. Kenapa demikian? Ya, sesuai namanya saja; dasar, yang bisa diartikan juga awal. Namun yang utama adalah lingkungan keluarga. Meski sekolah memiliki peranan besar dalam membentuk seorang manusia, keluarga lebih besar lagi. 

Sekolah memang punya peranan penting dalam membentuk karakter anak. Mulai dari membentuk kepribadian anak, membiasakan berperilaku, menanamkan kedisiplinan dan tak lupa pula sikap cinta dan bela tanah air. Sulit memang, apa lagi di kelas bawah (kelas 1, 2, dan 3). Apalagi gurunya masih tergolong muda; secara kasarnya belum punya pengalaman berumah tangga dan memiliki anak yang sesungguhnya.

Namun seiring berjalannya waktu, rutinitas dan jam terbang yang tinggi menghadapi berbagai macam tingkah dan perilaku anak, seorang guru akan dengan sendirinya memiliki pengalaman dan kemampuan untuk menghadapi anak yang beragam tingkah lakunya. Jadi, jangan anggap remeh profesi guru. Meski ia-nya belum punya anak yang sesungguhnya, ia sudah berhari-hari menghadapi puluhan tingkah anak orang. 

Kembali ke tujuan awal ....
Pernah suatu ketika bertemu dan ngobrol; sambil ngopi bareng dengan seorang teman yang mengajar dijenjang yang lebih tinggi. Kebetulan teman ini adalah seorang guru lelaki dan masih muda serta sedang membangun setapak demi setapak jalan menuju kehidupan berumah tangga.

Yang diceritakan adalah siswa putrinya yang cantik-cantik. Ya, tak bisa dipungkiri sih, apalagi anak-anak putri sekarang sudah pandai merawat diri, berpenampilan yang bisa menyenangkan mata. Apalagi sekarang tutorial dan produk-produk kecantikan bertaburan dimana-mana. 

Lalu bagaimana dengan saya, seorang guru muda yang belum punya anak mengurusi lebih dari satu anak orang (ceritanya sebagai wali kelas)? Seru dan menyenangkan juga kok. Apalagi anak-anak itu masih lucu dan imut-imutnya. Terkadang terbesit dalam pikiran, untuk mengatakan jangan pernah tumbuh besar dan dewasa nak. Tapi bukan itu yang saya ceritakan melainkan hal unik dan akan selalu membekas dalam ingatan. 

Jadi, suatu hari pernah ada seorang siswa yang izin ke toilet karena sakit perut. Kemudian ia berkata kalau sudah selesai nanti bapak cebokkan ya, wale... dengan berat hati, karna mau digimanakan lagi, akhirnya ya dikerjakan juga. Pernah juga ada seorang anak yang saking takutnya untuk meminta izin ke toilet akhirnya pub di celana, seketika kelas jadi riuh karena aroma khas tercium. Cebokin lagi... Bahkan tak jarang juga harus berhadapan dengan muntahan anak di dalam kelas. 

Dari pengalaman-pengalaman itu muncullah sebuah kata bijak dari pemikiran yang teramat genius; 
ngajarin anak SMA itu cuci mata sedangkan ngajar anak SD itu cuci pantat. 
Lumayanlah pengalamannya.
Sekian dulu.



Share to

Facebook Google+ Twitter Digg

1 komentar:

Manusia akan berkomentar dengan bahasa yang baik, sopan, dan santun. Silakan berkomentar yang bersifat membangun. No Rasis, No SARA, No Long orang boleh.