Menjadi seorang guru bukanlah pekara mudah dimasa
sekarang ini. Zaman berubah, teknologi berkembang, cara berpikir dan
berperilaku ikut menyesuaikan. Bila tak pandai menyikapi, tentu semua akan
larut dan tenggelam dalam budaya individualis. Anak-anak juga demikian. Lingkungan tempat mereka
berada sangat berpengaruh besar terhadap perkembangan fisik dan mentalnya.
Lingkungan baik, baik pula perilaku dan kepribadiannya.
Siapa bilang menjadi tenaga pengajar sekarang mudah.
Khususnya sebagai pengalaman penulis sebagai seorang guru di sekolah
dasar.
Siapa bilang menjadi tenaga pengajar sekarang mudah.
Khususnya sebagai pengalaman penulis sebagai seorang guru di sekolah
dasar.
Sekolah dasar adalah tempat yang bisa dikatakan sebagai
pondasi untuk membentuk seorang siswa. Kenapa demikian? Ya, sesuai namanya
saja; dasar, yang bisa diartikan juga awal. Namun yang utama adalah
lingkungan keluarga. Meski sekolah memiliki peranan besar dalam membentuk
seorang manusia, keluarga lebih besar lagi.
Sekolah memang punya peranan penting dalam membentuk
karakter anak. Mulai dari membentuk kepribadian anak, membiasakan berperilaku,
menanamkan kedisiplinan dan tak lupa pula sikap cinta dan bela tanah air. Sulit
memang, apa lagi di kelas bawah (kelas 1, 2, dan 3). Apalagi gurunya masih
tergolong muda; secara kasarnya belum punya pengalaman berumah tangga dan
memiliki anak yang sesungguhnya.
Namun seiring berjalannya waktu, rutinitas dan jam
terbang yang tinggi menghadapi berbagai macam tingkah dan perilaku anak,
seorang guru akan dengan sendirinya memiliki pengalaman dan kemampuan untuk
menghadapi anak yang beragam tingkah lakunya. Jadi, jangan anggap remeh profesi
guru. Meski ia-nya belum punya anak yang sesungguhnya, ia sudah
berhari-hari menghadapi puluhan tingkah anak orang.
Kembali ke tujuan awal ....
Pernah suatu ketika bertemu dan ngobrol; sambil ngopi
bareng dengan seorang teman yang mengajar dijenjang yang lebih tinggi. Kebetulan
teman ini adalah seorang guru lelaki dan masih muda serta sedang membangun
setapak demi setapak jalan menuju kehidupan berumah tangga.
Yang diceritakan adalah siswa putrinya yang
cantik-cantik. Ya, tak bisa dipungkiri sih, apalagi anak-anak putri sekarang
sudah pandai merawat diri, berpenampilan yang bisa menyenangkan mata. Apalagi
sekarang tutorial dan produk-produk kecantikan bertaburan dimana-mana.
Lalu bagaimana dengan saya, seorang guru muda yang
belum punya anak mengurusi lebih dari satu anak orang (ceritanya sebagai wali
kelas)? Seru dan menyenangkan juga kok. Apalagi anak-anak itu masih lucu dan
imut-imutnya. Terkadang terbesit dalam pikiran, untuk mengatakan jangan pernah
tumbuh besar dan dewasa nak. Tapi bukan itu yang saya ceritakan melainkan hal
unik dan akan selalu membekas dalam ingatan.
Jadi, suatu hari pernah ada seorang siswa yang izin ke
toilet karena sakit perut. Kemudian ia berkata kalau sudah selesai nanti bapak
cebokkan ya, wale... dengan berat hati, karna mau digimanakan lagi, akhirnya ya
dikerjakan juga. Pernah juga ada seorang anak yang saking takutnya
untuk meminta izin ke toilet akhirnya pub di celana, seketika kelas jadi riuh
karena aroma khas tercium. Cebokin lagi... Bahkan tak jarang juga harus
berhadapan dengan muntahan anak di dalam kelas.
Dari pengalaman-pengalaman itu muncullah sebuah kata
bijak dari pemikiran yang teramat genius;
ngajarin anak SMA itu cuci mata sedangkan ngajar anak SD itu cuci pantat.
Lumayanlah pengalamannya.
Sekian dulu.
hem...
BalasHapus