Perbedaan Gender Melahirkan Ketidakadilan

raymunduswendi | Juni 06, 2013 | |
Perbedaan gender telah melahirkan telah melahirkan berbagai ketidakadialan, baik bagi kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan kaum perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Menurut Fakih (1997:12-13), ketidakadilan gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni: marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak (burden), serta sosialisasi idiologi nilai peran gender.


1. Gender dan Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi di dalam rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak di antara suku-suku di Indonesia yang tidak member hak waris kepada kaum perempuan untuk mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan member hak waris setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.

2. Gender dan Subordinasi
Pandangan gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa memimpin, mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak penting. Hal ini dapat terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga (Fakih, 1997:15-16).

3. Gender dan Stereotipe
Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, khususnya perempuan yang bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan kepada mereka. Misalnya penandaan yang yang berawal dari asumsi bahwa perempuan yang bersolek adalah dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Mesyarakat beranggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Streotipe ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.

4. Gender dan Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan mencakup kekerasn fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali kekerasan yang terjadi pada kaum perempuan akibat stereotipe gender. Bahwa karena perbedaan gender dan sosialisasi gender yang sangat lama, sehingga mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan laki-laki mumnya lebih kuat maka hal itu tidak menimbulkan masalah selama anggapan lemahnya perempuan tersebut tidak dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk berbuat seenaknya memukul dan memperkosa perempuan. Banyak pemerkosaan terjadi justru bukan karena unsur kecantikan, namun karena kekuasaan dan streotipe gender yang dilekatkan pada kaum perempuan (Fakih, 1997:75)

5. Gender dan Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian rumahnya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai, memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak.

Dikalangan keluarga miskin, beban yang berat ini harus ditanggung oleh perempuan (istri) sendiri, berbeda dengan keluarga yang mampu menggunakan jasa pembantu. Terlebih jika perempuan tersebut harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, maka ia memikul beban kerja ganda. Sebagai contoh, dalam masyarakat pedesaan, ketika berangkat ke ladang perempuan biasanya membawa jarai/ terigai yang nantinya ketika pulang dari ladang jarai/ terigai tersebut akan diisi dengan kayu bakar dan perempuan jugalah yang akan membawa/ mengambin terigai berisi kayu bakar tersebut. Sementara laki-laki (suami) biasanya berjalan lebih dahulu dengan hanya membawa beban parang yang disarungkan di pinggangnya. Setelah itu ketika tiba di rumah, perempuan akan sibuk bekerja kembali untuk mempersiapkan segala kebutuhan di rumah dan laki-laki biasanya hanya bersantai menikmati suasana sore ditemani secangkir kopi dan sebatang rokok.

Bias gender yang mengakibatkan beban kerja seringkali diperkuat dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai “pekerjaan perempuan”, seperti semua pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dengan jenis “pekerjaan lelaki”, serta dikategorikan “bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, karena anggapan gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik tersebut.

6. Gender dan sosialisasi idiologi nilai peran gender
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait dan secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu “tersosialisasi” kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang lambat laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya percaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupaka kodrat. Lambat laun terciptalah ketidakadilan gender yang “diterima” dan tidak lagi dirasakan ada sesuatu yang salah (Fakih, 1997:76-77).


Daftar Pustaka
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumber gambar:

Share to

Facebook Google+ Twitter Digg
Comments
0 komentar:

Posting Komentar

Manusia akan berkomentar dengan bahasa yang baik, sopan, dan santun. Silakan berkomentar yang bersifat membangun. No Rasis, No SARA, No Long orang boleh.