Perbedaan
gender telah melahirkan telah melahirkan berbagai ketidakadialan, baik bagi
kaum laki-laki dan terutama terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender
merupakan sistem dan struktur di mana baik kaum laki-laki dan kaum perempuan
menjadi korban dari sistem tersebut. Menurut Fakih (1997:12-13), ketidakadilan
gender termanifestasikan dalam pelbagai bentuk ketidakadilan, yakni:
marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak
penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe atau melalui pelabelan
negatif, kekerasan (violence), beban kerja lebih panjang dan lebih banyak
(burden), serta sosialisasi idiologi nilai peran gender.
1.
Gender dan Marginalisasi Perempuan
Marginalisasi
kaum perempuan tidak hanya terjadi di tempat pekerjaan, juga terjadi di dalam
rumah tangga, masyarakat atau kultur dan bahkan negara. Marginalisasi terhadap
perempuan sudah terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk diskriminasi atas
anggota keluarga yang laki-laki dan perempuan. Marginalisasi juga diperkuat
oleh adat istiadat maupun tafsir keagamaan. Misalnya banyak di antara suku-suku
di Indonesia yang tidak member hak waris kepada kaum perempuan untuk
mendapatkan waris sama sekali. Sebagian tafsir keagamaan member hak waris
setengah dari hak waris laki-laki terhadap kaum perempuan.
2.
Gender dan Subordinasi
Pandangan
gender ternyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa
perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa memimpin,
mengakibatkan munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
penting. Hal ini dapat terlihat dari adanya anggapan bahwa perempuan tidak
perlu sekolah tinggi-tinggi, toh akhirnya akan ke dapur juga (Fakih,
1997:15-16).
3.
Gender dan Stereotipe
Banyak
sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin tertentu, khususnya perempuan yang
bersumber dari penandaan (stereotipe) yang dilekatkan kepada mereka. Misalnya
penandaan yang yang berawal dari asumsi bahwa perempuan yang bersolek adalah
dalam rangka memancing perhatian lawan jenisnya, maka setiap ada kasus
kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Mesyarakat
beranggapan bahwa tugas utama kaum perempuan adalah melayani suami. Streotipe
ini berakibat wajar sekali jika pendidikan kaum perempuan dinomorduakan.
4. Gender dan Kekerasan
Kekerasan terhadap perempuan mencakup kekerasn fisik seperti
pemerkosaan dan pemukulan, sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus
seperti pelecehan seksual dan penciptaan ketergantungan. Banyak sekali
kekerasan yang terjadi pada kaum perempuan akibat stereotipe gender. Bahwa
karena perbedaan gender dan sosialisasi gender yang sangat lama, sehingga
mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan laki-laki mumnya lebih kuat
maka hal itu tidak menimbulkan masalah selama anggapan lemahnya perempuan
tersebut tidak dimanfaatkan oleh kaum laki-laki untuk berbuat seenaknya memukul
dan memperkosa perempuan. Banyak pemerkosaan terjadi justru bukan karena unsur
kecantikan, namun karena kekuasaan dan streotipe gender yang dilekatkan pada
kaum perempuan (Fakih, 1997:75)
5. Gender dan Beban Kerja
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan
rajin, serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga, berakibat bahwa
semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi tanggung jawab kaum perempuan.
Banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama untuk menjaga
kebersihan dan kerapian rumahnya, mulai dari membersihkan dan mengepel lantai,
memasak, mencuci, mencari air untuk mandi hingga memelihara anak.
Dikalangan keluarga miskin, beban yang berat ini harus ditanggung
oleh perempuan (istri) sendiri, berbeda dengan keluarga yang mampu menggunakan
jasa pembantu. Terlebih jika perempuan tersebut harus bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, maka ia memikul beban kerja ganda. Sebagai contoh, dalam
masyarakat pedesaan, ketika berangkat ke ladang perempuan biasanya membawa
jarai/ terigai yang nantinya ketika pulang dari ladang jarai/ terigai tersebut
akan diisi dengan kayu bakar dan perempuan jugalah yang akan membawa/ mengambin
terigai berisi kayu bakar tersebut. Sementara laki-laki (suami) biasanya
berjalan lebih dahulu dengan hanya membawa beban parang yang disarungkan di
pinggangnya. Setelah itu ketika tiba di rumah, perempuan akan sibuk bekerja
kembali untuk mempersiapkan segala kebutuhan di rumah dan laki-laki biasanya
hanya bersantai menikmati suasana sore ditemani secangkir kopi dan sebatang
rokok.
Bias gender yang mengakibatkan beban kerja seringkali diperkuat
dan disebabkan oleh adanya pandangan atau keyakinan di masyarakat bahwa
pekerjaan yang dianggap masyarakat sebagai “pekerjaan perempuan”, seperti semua
pekerjaan domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah dengan jenis “pekerjaan
lelaki”, serta dikategorikan “bukan produktif” sehingga tidak diperhitungkan
dalam statistik ekonomi negara. Sementara itu kaum perempuan, karena anggapan
gender ini, sejak dini telah disosialisasikan untuk menekuni peran gender
mereka. Di lain pihak kaum lelaki tidak diwajibkan secara kultural untuk
menekuni berbagai jenis pekerjaan domestik tersebut.
6. Gender dan sosialisasi idiologi nilai peran gender
Semua manifestasi ketidakadilan gender tersebut saling berkait dan
secara dialektika saling mempengaruhi. Manifestasi ketidakadilan itu
“tersosialisasi” kepada kaum laki-laki dan perempuan secara mantap, yang lambat
laun akhirnya baik laki-laki maupun perempuan menjadi terbiasa dan akhirnya
percaya bahwa peran gender itu seolah-olah merupaka kodrat. Lambat laun
terciptalah ketidakadilan gender yang “diterima” dan tidak lagi dirasakan ada
sesuatu yang salah (Fakih, 1997:76-77).
Daftar Pustaka
Sumber gambar:
Fakih, Mansour. 1997. Analisis Gender dan Transformasi Sosial.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
