Menggali Kembali Budaya Notokng dalam Adat Masyarakat Dayak Mali di Desa Kebadu

raymunduswendi | Juli 09, 2011 | ||
Cuaca yang terlalu cerah membuat suasana menjadi begitu panas hari itu. Namun hal itu tak mengurungkan niatku untuk melakukan perjalan pulang kampung ke Batang Tarang. Perjalanan dari Pontianak menuju Batang Tarang tidaklah begitu jauh, hanya saja kondisi jalan yang belum begitu mulus membuat perjalanan cukup memakan waktu serta skill mengemudi di jalan tanah kuning serta bebatuan kecil. Jumat, 1 Juni 2011 pukul 13.30 kupacu sepada motor untuk berangkat menuju Batang Tarang, kampung halamanku. Bukanlah yang yang berat bagiku untuk melewati jalan trans Kalimantan yang belum begitu mulus itu, karena jalan itulah rute yang selalu ku tempuh saat pergi maupun pulang ke Pontianak. Namun satu hal yang cukup mengkhawatirkan, kondisi dompet yang begitu tipis membuat perasaan was-was, andai saja terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada motorku, maklum tanggal masih terlalu muda. Untungnya hal yang tak diharapkan memang tak terjadi, datang ke rumah kira-kira pukul 15.30.

Tujuan utama dari perjalan yang kutempuh adalah untuk bertemu dengan seorang kepala adat yang ada di Kampung Timpel (biasa juga disebut Kampung Peluntan) dengan maksud untuk menanyakan tentang upacara notokng dalam adat masyarakat Dayak Mali. Bartolomeus Tehon, itulah namanya, seorang kepala adat yang sudah berusia 77 tahun ini bukanlah orang yang mudah ditemui. Selain sibuk dengan urusan-urusan adat ia juga aktif di Credit Union (CU).

Malam (2/7) sekitar pukul 07.00, aku mendatangi kediaman Pak Tehon sekedar bermaksud untuk membuat janji pertemuan untuk melakukan wawancara tentang cerita notokng itu. Kebetulan saja malam itu ia tak memiliki kesibukan, lalu ia pun mulai bercerita panjang lebar mengenai Dayak Mali. Orang tua yang pernah mengikuti pertemuan di Dayaklogi Pontianak beberapa tahun silam pernah memaparkan bahwa sebenarnya nama suku dayak yang ada di kecamatan Balai Batang Tarang itu sebenarnya bukan mali. Subsuku dayak yang ada di kecamatan itu ada empat yakni mali, peruna, taba, dan keneles. Mali adalah satu di antara subsuku dayak yang ada di Balai Batang Tarang. Sebenarnya nama suku dayak yang yang ada di kecamatan ini bernama tarakng, hanya saja karena pada masa lampau, ada seseorang dari Kampung Mali yang bernama Angkis mampu mengalahkan raja di Pontianak, sehingga membuat nama mali itu terkenal hingga sampai saat ini pun nama itulah yang lebih sering masyaratkat gunakan, ungkap Tehon. Setelah bercerita panjang lebar tentang Dayak Mali, barulah ia memulai bagaimana notokng itu sebenarnya.

Cerita awalnya berdasarkan yang diceritakan Tehon (77), pada zaman dahulu ada enam orang bersaudara yang memiliki kesaktian. Mereka adalah orang dayak. Kedua orang tua mereka dibunuh oleh seorang yang bernama Raden Gusti seorang keturunan melayu. (Nama Raden Gutsi sebenarnya masih ada lanjutannya, namun Pak Tehon lupa). Enam orang bersaudara ini berniat membalas dendam atas kematian orang tua mereka pada Raden Gusti, namun sayangnya Raden Gusti juga memiliki kekuatan/ kesaktian. Enam bersaudara ini merasa belum cukup kuat untuk mengalahkan kesaktian Raden Gusti. Maka enam orang bersaudara ini berniat untuk mencari seorang lagi agar jumlah mereka menjadi tujuh. Dalam pencarian mereka, seorang dari mereka menemukan seorang anak yang bukan sembarang anak. Anak ini juga memiliki kesaktian. Lalu anak itu ia bawa ke kampung mereka untuk bertemu dengan saudaranya yang lain. Atas kesepakatan mereka, anak itu lalu diangkat menjadi saudara mereka. Setelah merasa kuat dengan kedatangan si bungsu (sebutan untuk saudara angkat mereka), mereka lalu berperang dengan si Raden Gusti, dan pada akhirnya mereka berhasil membunuh Raden Gusti. Kepala Raden Gusti itu lalu dibawa ke kampung sebagai wujud kebahagian mereka setelah berhasil membalaskan dendam atas kematian orang tua mereka. Pada malam harinya mereka mengadakan keramaian semacam acara syukuran setelah berperang, dan acara itulah sejarah awal upacara notokng yang dilakukan oleh suku Dayak Mali. Pada saat sekarang ini tujuh bersaudara itu dikenal dengan sebutan kamang dan angka tujuh menjadi sangat keramat bagi masyarakat dayak, tutur Tehon.

Cerita di atas terjadi beberapa ratus tahun silam, hingga saat ini kepala/ tengkorak dari Raden Gusti itu tidak diketahui keberadaannya. Ritual notokng yang ada pada saat ini merupakan upacara memberi makan tengkorak hasil mengayau. Ngayau merupakan budaya untuk mencari kepala manusia. Budaya mengayau yang ada pada masyarakat dayak zaman dahulu biasanya bertujuan untuk menunjukan bahwa orang itu sudah memiliki keberanian, kekuatan dan tentunya kehormatan. Tujuan lain dari ngayau juga dikarenakan permintaan seorang calon istri sebagai pembuktian bahwa lelaki yang akan menjadi suaminya sudah mampu menjaga dan menghidupi keluarganya kelak. Biasanya permintaan calon istri adalah mengambil kepala dari keluarga yang dianggap sebagai musuh dari keluarga calon istrinya. Setiap orang Dayak yang mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya akan diawetkan. Kapala tersebutlah yang akan diberi makan pada upacara notokng.

Cerita mengenai bencana yang pernah terjadi di Kampung Benawan pada zaman dahulu kala yakni bencana yang menyebabkan kematian warga Kampung Benawan. Monika Inon, yang saat ini berumur sekitar 95 tahun adalah saksi hidup dari peristiwa ini. Menurutnya musibah itu terjadi karena tengkorak yang disimpan di atas abu (tempat memasak) marah. Tengkorak itu adalah tengkorak seorang panglima perang keraton sanggau yang berhasil dibunuh pada saat perang. Bencana itu berawal ketika warga Kampung sedang mengadakan pesta pernikahan. Tengkorak yang disimpan di atas abu marah karena terkena asap dari masakan yang dibuat oleh warga. Tengkorak itu adalah tengkorak seorang yang bersuku melayu, dan masakan yang dimasak dibawah tempat tengkorak itu disimpan adalah daging babi. Kejadian ini menyebabkan banyaknya nyawa terenggut. Lalu diadakanlah acara notokng, dan setelah itu tengkorak itu dikuburkan. Pada akhirnya masyarakat Kampung Benawan pindah dan membuat Kampung baru yang dinamakan Kebadu. Kampung Benawan kini menjadi tembawang tua (milik bersama masyarakat Kampung Kebadu).
Agar pembaca tidak bingung dengan dengan penggunaan desa dan Kampung Kebadu, maka dijelaskan bahwa Kampung Kebadu dan Peluntan/ Timpel (nama kampung yang ada dalam tulisan) adalah Kampung / dusun yang ada di Desa Kebadu.

Tengkorak-tengkorak yang ada biasanya disimpan di atas abu (para’ api). Maksud menyimpannya di atas abu adalah agar tengkorak tetap awet, ibarat barang yang disalai, maka akan selalu awet, namun ada juga yang menyimpannya di tempat khusus yang pasti keutuhan tengkorak-tengkorak tersebut selalu dijaga. Orang yang berhak menyimpan tengkorak adalah orang yang mendapatkannya, dan jika orang yang mendapatkannya telah meninggal, maka keturunannyalah yang akan merawat tengkorak yang didapatkan orang tua atau leluhurnya dan begitu seterusnya.
Dalam masyarakat Dayak Mali di desa Kebadu saat ini sudah tidak mengadakan notokng lagi, ada notokng terakhir yang dilaksanakan beberapa puluh tahun lalu dan itu merupakan notokng terakhir yang dilaksanakan. Setelah ditotokngkan tenkorak-tengkorak itu dikuburkan layaknya menguburkan bangkai manusia. Tempat penguburanya terletak di sebuah hutan tua yang bernama apa. Hutan yang begitu gelap dan ditumbuhi banyak pohon ara itu tampak begitu seram, ditambah lagi dengan tempat dikuburnya tengkorak-tengkorak yang dianggap keramat makin keramat pula tempat itu ketika kita berada atau melewati hutan itu. Tak begitu jelas juga apa alasan mengapa masyarakat tidak mengadakan notokng lagi. Namun satu hal yang mungkin terjadi yakni masuknya agama.
Dahulu ketika notokng masih dilaksanakan, notokng biasanya diadakan ketika selesai panen atau ketika ada sesuatu yang dianggap mengancam, seperti ketika akan berperang. Pelaksanan notokng selain bertujuan memberi makan tengkorak-tengkorak juga bertujuan untuk minta bantuan kepada kamang. Misalnya sebelum perang orang mengadakan notokng untuk meminta bantuan, menguatkan semangat, dan biasanya juga orang yang akan perang akan dirasuki oleh arwah-arwah yang diminta untuk membantu.

Lamanya pelaksanaan notokng pun bervariasi. Pelaksanaan yang paling lama adalah satu tahun, dan yang paling sebentar adalah satu hari satu malam, selain itu ada juga yang dilaksanakan tiga atau tujuh hari, semuanya tergantung pada kesepakatan warga kampung. Notokng yang dilaksanakan selama setahun dinamakan notokng benaun, notokng dimulai ketika orang sedang menebas ladang dan akhir/ puncaknya dilaksanakan setelah panen. Setahun yang dimaskud adalah perhitungan setahun dari menebas ladang hingga panen. Selama setahun hal yang dilakukan adalah membunyikan satu ketawak (gong) ketika hari sudah sore. Membunyikannya pun dilakukan sebentar yang dilakukan oleh masyarakat kampung. Membunyikan ketawak ini boleh dilakukan secara bergiliran oleh warga dan pada saat pelaksanaan puncaknya diatur berdasarkan kesepakatan masyarakat kampung.

Notokng yang dilaksanakan selama satu hari satu malam dilakukan jika ada situasi yang dianggap darurat seperti akan mengadakan perang. Seperti yang telah dijelaskan di atas, notokng ini bertujuan untuk meminta bantuan dari kamang dan arwah para leluhur serta para panglima. Dengan adanya bantuan itu, orang yang akan pergi berperang akan dikuatkan semangatnya, terlebih lagi mereka adalah bukan diri atau jiwa mereka yang asli melainkan jiwa para arwah.

Dalam pelaksanan notokng cukup banyak hal yang harus dipersiapkan. Maka dari pada itu, masyarakat jauh-jauh hari sebelum acara notokng dilaksanakan sudah mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan. Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah buis/ sesajian yang terdiri dari ikan lele, ikan seluang, gereneng (sejenis cairan yang bewarna merah yang berasal dari biji-bijian), tempayan, pasu (semacam mangkuk besar yang terbuat dari tanah liat) atau bisa juga menggunakan baskom, babi satu ekor, ayam kampung satu ekor, ranakng 7 buah, kare’ 7 buah, tuak atau arak, lemang 7 batang dengan ukuran bambu yang kecil, nasi dan pulut (ketan).

Ikan lele dan seluang dan barang lainnya merupakan barang wajib yang harus disiapkan sebelum acara dimulai. Lele dan seluang memiliki makna makanan yang paling disukai oleh kamang. Ikan seluang pun bukanlah ikan seluang yang biasa dijual di pasar-pasar. Ikan seluangnya harus ikan seluang yang didapat dari uncak sungai, entah jenis ikan seluang yang seperti apa yang dimaksudkan, Pak Tehon pun tidak dapat memberikan deskripsi yang detail mengenai jenis ikan seluang yang dimaksud. Babi dan ayam kampung merupakan lambang makanan khas masyarakat dayak. Tumpi Ranakng dan tumpi kare’ merupakan kue yang terbuat dari tepung beras. Tumpi Ranakng biasa juga disebut cucur berwarna agak kehitam-hitaman dangan rasa yang manis. Tumpi kare’ berwarna putih dengan rasa yang asin. Ranakng dan kare’ bermakna keseimbangan antara makanan dengan rasa asin dan manis, karena tidak selamanya manusia makan makanan yang manis, terkadang juga makanan dengan rasa asin, jelas Tehon.

Tempayan digunakan untuk membuat mandong pakat, yakni sejenis aturan yang disepakati oleh masyarakat sewaktu mengadakan keramaian. Aturan tersebut biasanya larangan agar antarmasyarakat atau warga untuk tidak membuat keributan, perkelahian dan masalah lainnya yang dapat menggangu berjalanannya upacara.

Pasu atau mangkok besar akan digunakan untuk menyimpan air yang memang sudah dibacakan mantra. Air tersebut digunakan untuk memerciki orang bila ada yang kerasukan. Kerasukan tersebut biasanya timbul karena orang tersebut melanggar pantang.

Berbagai sesajian yang telah disiapkan akan disimpan di jangka. Jangka adalah semacam meja yang dibuat untuk menyimpan berbagai sesajian. Jangka tersebut dihiasi dengan daun kelapa. Pada saat upacara merinting, akan dilaksanakan dengan membacakan mantra di jangka yang berisi sesajian. Jangka biasanya dibuat di depan rumah, atau di halaman rumah.

Tempat pelaksanaan notokng dilakukan di rumah domong/ kepala kampung, temenggung, atau kepala adat. Hal ini merupakan hal yang wajib walaupun keluarga yang mengadakan notokng tersebut bukan keluarga dari kepala kampung atau masyarakat yang tinggal berlainan rumah dengan kepala kampung. Tengkorak-tengkorak yang ada di rumah warga dipindahkan/ dibawa ke rumah domong, ketika memindahkan atau membawakan tengkorak dari rumah yang menyimpan tengkorak tersebut ada juga ritual yang dilakukan, yakni upacara penjemputan tengkorak-tengkorak tersebut. Prosesi ritual tersebut diatur oleh domong dan pawang yang akan memimpin upacara notokng. Setelah tiba di rumah domong, tengkorak-tengkorak yang akan dinotokngkan disimpan di dalam rumah yang di depannya terletak jangka.

Pawang atau bisa juga disebut dukun merupakan orang yang akan memimpin jalannya ritual notokng tersebut. Pawang juga dibantu oleh beberapa orang yang memang memiliki keahlian untuk membaca mantra, dan orang-orang tersebut memang dipilih oleh pawang itu sendiri. Para pawang dan pembantunya menggunakan sengkulas (kain yang diikatkan di kepala) bewarna merah, dengan diselipkan daun ensabakng dan bulu burung ruai. Tidak ada pakaian yang khusus atau pakaian khas dayak yang digunakan para pawang/ dukun, pakaian yang digunakan biasa-biasa saja hanya bagian bawah menggunakan sarung.

Pada dasarnya notokng memiliki tiga tahapan. Tahapan yang pertama disebut nyerah manta’, tahap yang kedua adalah acara hiburan, dan yang ketiga adalah nyerah masak. Tahap nyerah manta memiliki makna semacam pemberitahuan kepada kamang dan arwah empunya tengkorak bahwa masyarakat kampung akan mengadakan notokng. Tahapan ini dilakukan pada hari pertama acara notokng dilaksanakan. Ibarat memberikan undangan kepada orang yang akan diundang seperti itulah tahapan ini.

Pada tahapan kedua, yakni acara hiburan. Acara hiburan ini dimulai setelah tahap nyerah manta hingga menjelang tahap nyerah masak. Jika notongnya selama tiga hari maka hari kedua dan ketiga sebelum menjelang acara nyerah masak, diadakan acara hiburan. Begitu juga dengan notokng selama tujuh hari. Namun pada notokng satu hari acara ini tidaklah dilakukan karena notong satu hari pun sifatnya bukan untuk pesta-pesta atau perayaan panen melainkan suasana gawat darurat. Acara yang ada pada malam hiburan ini kebanyakan berupa tari-tarian dan hiburan musik maupun berbalas pantun. Pada intinya tidak ada hal yang penting atau bersifat sakral yang dilaksanakan pada tahap hiburan ini, begitu yang dijelaskan Tehon. Irama musik yang dimainkan merupakan irama-irama yang santai. Irama santai dalam ritual notokng dinamakan nenggok. Alat musik yang digunakan adalah alat musik yang tradisonal misalnya kulintang, dan gong. Masyarakat yang datang boleh menari-nari, begitu juga dengan pemain musiknya boleh bergantian.

Setelah tahap hiburan selesai pada malam terakhir, pawang atau dukun yang memimpin ritual notokng akan memberikan tanda bahwa acara puncak akan dimulai. Ritual ini ditandai dengan irama musik yang dimainkan. Berbeda dengan irama musik hiburan, musik pada acara ini lebih keras dan mungkin terdengar seram. Tahapan ini disebut merinting. Diiringi dengan musik yang keras bahkan mungkin terdengar seram, pawang dan pembantunya mengelilingi jangka, semacam tempat yang berbentuk meja yang digunakan untuk menyimpan sesajian, untuk membacakan mantra. Pada tahapan inilah arwah akan datang untuk menikmati sesajian yang disediakan. Tetapi bukan berarti pada malam-malam sebelumnya arwah tidak hadir, hanya saja pada upacara merinting adalah waktunya untuk mereka makan sesajian. Setelah merinting selesai, pawang akan memberikan tanda kepada pemain musik untuk mengganti irama musik dari irama yang keras keirama nenggok. Setelah itu para pawang/ dukun akan menari. Tarian ini disebut tarian notokng. Setelah selesai ritual ini maka upacara notokng telah selesai, tingal pawang meyampaikan pantang bagi masyarakat kampung. Walaupun hal yang bisa dikatakan acara inti telah selesai tetapi biasanya hiburan dapat belangsung hingga pagi hari.

Biasanya pada saat notokng, tak hanya masyarakat kampung yang mengadakan notokng saja yang datang untuk menonton. Masyarakat yang dari kampung lain, bahkan kampung yang jauh sekali pun biasanya datang, karena notokng juga termasuk dalam acara keramaian yang menarik minat, terutama bagi dara dan bujang. Mereka yang datang dari luar kampung juga harus berpantang. Pantangan bagi masyarakat yang ingin melihat/ menonton acara notokng adalah sebelum datang ke acara tersebut tidak boleh makan jeruk, terasi, dan udang. Pantangan ini berlaku untuk warga yang bukan berasal dari kampung yang mengadakan notokng tersebut. Bagi warga kampung tempat acara notokng tersebut diadakan, jenis makanan yang disebutkan di atas tadi tidak boleh dimakan selama acara notong dilaksanakan, jika notokng tiga hari, maka tiga harilah masyarakat tidak boleh makan makanan itu. Makan tersebut diyakini makanan yang tidak disukai oleh kamang. Bila ada yang makan makanan yang dipantangkan biasanya akan terjadi kesurupan akibat dari kemarahan kamang, terkadang bisa sampai meningal jika tidak dapat diatasi. Itulah gunanya pasu yang berisi air yang sudah diberi mantra, untuk menawar/ mengobati orang yang kerasukan.

Setelah upacara inti selesai, bagi masyarakat kampung yang mengadakan notokng ada pantangan tambahan yang harus mereka taai. Pantang tersebut adalah masyarakat tidak boleh pergi keluar atau menerima tamu dari luar kampung. Jika ada masyarakat yang keluar atau datang makan kembalinya harus setelah masa pantang berakhir. Selain itu masyarakat juga dilarang untuk membuat sesuatu yang dapat mengganggu kebisingan misalnya tidak boleh berteriak-teriak, tidak boleh menyalakan musik dengan suara yang nyaring, tidak boleh menghidupkan mesin yang dapat menimbulkan suara bising. Pantangan ini berlaku selama tiga hari, setelah itu masyarakat dapat kembali seperti hari-hari biasanya.

Menurut Tehon, apa yang telah disampaikan dan diceritakannya masih banyak yang terlewatkan karena sudah lama sekali masyarakat Dayak Mali, khususnya di desa Kebadu tidak melakukan notokng. Tidak ada catatan dalam bentuk tulisan juga membuat semuanya tak dapat diingat, hanya mengandalkan ingatan yang kian hari kian berkurang tidaklah cukup. (rw*)



Share to

Facebook Google+ Twitter Digg
Comments
0 komentar:

Posting Komentar

Manusia akan berkomentar dengan bahasa yang baik, sopan, dan santun. Silakan berkomentar yang bersifat membangun. No Rasis, No SARA, No Long orang boleh.