Cuaca yang terlalu cerah membuat suasana
menjadi begitu panas hari itu. Namun hal itu tak mengurungkan niatku untuk
melakukan perjalan pulang kampung ke Batang Tarang. Perjalanan dari Pontianak
menuju Batang Tarang tidaklah begitu jauh, hanya saja kondisi jalan yang belum
begitu mulus membuat perjalanan cukup memakan waktu serta skill mengemudi di
jalan tanah kuning serta bebatuan kecil. Jumat, 1 Juni 2011 pukul 13.30 kupacu
sepada motor untuk berangkat menuju Batang Tarang, kampung halamanku. Bukanlah
yang yang berat bagiku untuk melewati jalan trans Kalimantan yang belum begitu
mulus itu, karena jalan itulah rute yang selalu ku tempuh saat pergi maupun
pulang ke Pontianak. Namun satu hal yang cukup mengkhawatirkan, kondisi dompet
yang begitu tipis membuat perasaan was-was, andai saja terjadi sesuatu yang tak
diinginkan pada motorku, maklum tanggal masih terlalu muda. Untungnya hal yang
tak diharapkan memang tak terjadi, datang ke rumah kira-kira pukul 15.30.
Tujuan utama dari perjalan yang kutempuh
adalah untuk bertemu dengan seorang kepala adat yang ada di Kampung Timpel
(biasa juga disebut Kampung Peluntan) dengan maksud untuk menanyakan tentang
upacara notokng dalam adat masyarakat Dayak Mali. Bartolomeus Tehon, itulah
namanya, seorang kepala adat yang sudah berusia 77 tahun ini bukanlah orang
yang mudah ditemui. Selain sibuk dengan urusan-urusan adat ia juga aktif di
Credit Union (CU).
Malam (2/7) sekitar pukul 07.00, aku
mendatangi kediaman Pak Tehon sekedar bermaksud untuk membuat janji pertemuan
untuk melakukan wawancara tentang cerita notokng itu. Kebetulan saja malam itu
ia tak memiliki kesibukan, lalu ia pun mulai bercerita panjang lebar mengenai
Dayak Mali. Orang tua yang pernah mengikuti pertemuan di Dayaklogi Pontianak
beberapa tahun silam pernah memaparkan bahwa sebenarnya nama suku dayak yang
ada di kecamatan Balai Batang Tarang itu sebenarnya bukan mali. Subsuku dayak
yang ada di kecamatan itu ada empat yakni mali, peruna, taba, dan keneles. Mali
adalah satu di antara subsuku dayak yang ada di Balai Batang Tarang. Sebenarnya
nama suku dayak yang yang ada di kecamatan ini bernama tarakng, hanya saja
karena pada masa lampau, ada seseorang dari Kampung Mali yang bernama Angkis
mampu mengalahkan raja di Pontianak, sehingga membuat nama mali itu terkenal
hingga sampai saat ini pun nama itulah yang lebih sering masyaratkat gunakan,
ungkap Tehon. Setelah bercerita panjang lebar tentang Dayak Mali, barulah ia
memulai bagaimana notokng itu sebenarnya.
Cerita awalnya berdasarkan yang
diceritakan Tehon (77), pada zaman dahulu ada enam orang bersaudara yang
memiliki kesaktian. Mereka adalah orang dayak. Kedua orang tua mereka dibunuh
oleh seorang yang bernama Raden Gusti seorang keturunan melayu. (Nama Raden
Gutsi sebenarnya masih ada lanjutannya, namun Pak Tehon lupa). Enam orang
bersaudara ini berniat membalas dendam atas kematian orang tua mereka pada
Raden Gusti, namun sayangnya Raden Gusti juga memiliki kekuatan/ kesaktian.
Enam bersaudara ini merasa belum cukup kuat untuk mengalahkan kesaktian Raden
Gusti. Maka enam orang bersaudara ini berniat untuk mencari seorang lagi agar
jumlah mereka menjadi tujuh. Dalam pencarian mereka, seorang dari mereka
menemukan seorang anak yang bukan sembarang anak. Anak ini juga memiliki
kesaktian. Lalu anak itu ia bawa ke kampung mereka untuk bertemu dengan
saudaranya yang lain. Atas kesepakatan mereka, anak itu lalu diangkat menjadi
saudara mereka. Setelah merasa kuat dengan kedatangan si bungsu (sebutan untuk
saudara angkat mereka), mereka lalu berperang dengan si Raden Gusti, dan pada
akhirnya mereka berhasil membunuh Raden Gusti. Kepala Raden Gusti itu lalu
dibawa ke kampung sebagai wujud kebahagian mereka setelah berhasil membalaskan
dendam atas kematian orang tua mereka. Pada malam harinya mereka mengadakan
keramaian semacam acara syukuran setelah berperang, dan acara itulah sejarah
awal upacara notokng yang dilakukan oleh suku Dayak Mali. Pada saat sekarang
ini tujuh bersaudara itu dikenal dengan sebutan kamang dan angka tujuh menjadi
sangat keramat bagi masyarakat dayak, tutur Tehon.
Cerita di atas terjadi beberapa ratus
tahun silam, hingga saat ini kepala/ tengkorak dari Raden Gusti itu tidak
diketahui keberadaannya. Ritual notokng yang ada pada saat ini merupakan
upacara memberi makan tengkorak hasil mengayau. Ngayau merupakan budaya untuk
mencari kepala manusia. Budaya mengayau yang ada pada masyarakat dayak zaman
dahulu biasanya bertujuan untuk menunjukan bahwa orang itu sudah memiliki
keberanian, kekuatan dan tentunya kehormatan. Tujuan lain dari ngayau juga
dikarenakan permintaan seorang calon istri sebagai pembuktian bahwa lelaki yang
akan menjadi suaminya sudah mampu menjaga dan menghidupi keluarganya kelak.
Biasanya permintaan calon istri adalah mengambil kepala dari keluarga yang
dianggap sebagai musuh dari keluarga calon istrinya. Setiap orang Dayak yang
mampu memperoleh kepala panglima suku atau orang yang terkuat dalam suku maka
kekuatannya akan dapat diperoleh. Orang Dayak tersebut akan dikagumi sebagai
panglima. Kepala panglima suku yang dipotong tadi akan dimakan dan tengkoraknya
akan diawetkan. Kapala tersebutlah yang akan diberi makan pada upacara notokng.
Cerita mengenai bencana yang pernah
terjadi di Kampung Benawan pada zaman dahulu kala yakni bencana yang
menyebabkan kematian warga Kampung Benawan. Monika Inon, yang saat ini berumur
sekitar 95 tahun adalah saksi hidup dari peristiwa ini. Menurutnya musibah itu
terjadi karena tengkorak yang disimpan di atas abu (tempat memasak) marah.
Tengkorak itu adalah tengkorak seorang panglima perang keraton sanggau yang
berhasil dibunuh pada saat perang. Bencana itu berawal ketika warga Kampung
sedang mengadakan pesta pernikahan. Tengkorak yang disimpan di atas abu marah
karena terkena asap dari masakan yang dibuat oleh warga. Tengkorak itu adalah
tengkorak seorang yang bersuku melayu, dan masakan yang dimasak dibawah tempat
tengkorak itu disimpan adalah daging babi. Kejadian ini menyebabkan banyaknya
nyawa terenggut. Lalu diadakanlah acara notokng, dan setelah itu tengkorak itu
dikuburkan. Pada akhirnya masyarakat Kampung Benawan pindah dan membuat Kampung
baru yang dinamakan Kebadu. Kampung Benawan kini menjadi tembawang tua (milik
bersama masyarakat Kampung Kebadu).
Agar pembaca tidak bingung dengan dengan
penggunaan desa dan Kampung Kebadu, maka dijelaskan bahwa Kampung Kebadu dan
Peluntan/ Timpel (nama kampung yang ada dalam tulisan) adalah Kampung / dusun
yang ada di Desa Kebadu.
Tengkorak-tengkorak yang ada biasanya
disimpan di atas abu (para’ api). Maksud menyimpannya di atas abu adalah agar
tengkorak tetap awet, ibarat barang yang disalai, maka akan selalu awet, namun
ada juga yang menyimpannya di tempat khusus yang pasti keutuhan
tengkorak-tengkorak tersebut selalu dijaga. Orang yang berhak menyimpan
tengkorak adalah orang yang mendapatkannya, dan jika orang yang mendapatkannya
telah meninggal, maka keturunannyalah yang akan merawat tengkorak yang
didapatkan orang tua atau leluhurnya dan begitu seterusnya.
Dalam masyarakat Dayak Mali di desa Kebadu
saat ini sudah tidak mengadakan notokng lagi, ada notokng terakhir yang dilaksanakan
beberapa puluh tahun lalu dan itu merupakan notokng terakhir yang dilaksanakan.
Setelah ditotokngkan tenkorak-tengkorak itu dikuburkan layaknya menguburkan
bangkai manusia. Tempat penguburanya terletak di sebuah hutan tua yang bernama
apa. Hutan yang begitu gelap dan ditumbuhi banyak pohon ara itu tampak begitu
seram, ditambah lagi dengan tempat dikuburnya tengkorak-tengkorak yang dianggap
keramat makin keramat pula tempat itu ketika kita berada atau melewati hutan
itu. Tak begitu jelas juga apa alasan mengapa masyarakat tidak mengadakan
notokng lagi. Namun satu hal yang mungkin terjadi yakni masuknya agama.
Dahulu ketika notokng masih dilaksanakan,
notokng biasanya diadakan ketika selesai panen atau ketika ada sesuatu yang
dianggap mengancam, seperti ketika akan berperang. Pelaksanan notokng selain
bertujuan memberi makan tengkorak-tengkorak juga bertujuan untuk minta bantuan
kepada kamang. Misalnya sebelum perang orang mengadakan notokng untuk meminta
bantuan, menguatkan semangat, dan biasanya juga orang yang akan perang akan
dirasuki oleh arwah-arwah yang diminta untuk membantu.
Lamanya pelaksanaan notokng pun
bervariasi. Pelaksanaan yang paling lama adalah satu tahun, dan yang paling
sebentar adalah satu hari satu malam, selain itu ada juga yang dilaksanakan
tiga atau tujuh hari, semuanya tergantung pada kesepakatan warga kampung.
Notokng yang dilaksanakan selama setahun dinamakan notokng benaun, notokng
dimulai ketika orang sedang menebas ladang dan akhir/ puncaknya dilaksanakan
setelah panen. Setahun yang dimaskud adalah perhitungan setahun dari menebas
ladang hingga panen. Selama setahun hal yang dilakukan adalah membunyikan satu
ketawak (gong) ketika hari sudah sore. Membunyikannya pun dilakukan sebentar
yang dilakukan oleh masyarakat kampung. Membunyikan ketawak ini boleh dilakukan
secara bergiliran oleh warga dan pada saat pelaksanaan puncaknya diatur
berdasarkan kesepakatan masyarakat kampung.
Notokng yang dilaksanakan selama satu hari
satu malam dilakukan jika ada situasi yang dianggap darurat seperti akan
mengadakan perang. Seperti yang telah dijelaskan di atas, notokng ini bertujuan
untuk meminta bantuan dari kamang dan arwah para leluhur serta para panglima.
Dengan adanya bantuan itu, orang yang akan pergi berperang akan dikuatkan semangatnya,
terlebih lagi mereka adalah bukan diri atau jiwa mereka yang asli melainkan
jiwa para arwah.
Dalam pelaksanan notokng cukup banyak hal
yang harus dipersiapkan. Maka dari pada itu, masyarakat jauh-jauh hari sebelum
acara notokng dilaksanakan sudah mempersiapkan bahan-bahan yang diperlukan.
Hal-hal yang perlu dipersiapkan adalah buis/ sesajian yang terdiri dari ikan
lele, ikan seluang, gereneng (sejenis cairan yang bewarna merah yang berasal
dari biji-bijian), tempayan, pasu (semacam mangkuk besar yang terbuat dari
tanah liat) atau bisa juga menggunakan baskom, babi satu ekor, ayam kampung
satu ekor, ranakng 7 buah, kare’ 7 buah, tuak atau arak, lemang 7 batang dengan
ukuran bambu yang kecil, nasi dan pulut (ketan).
Ikan lele dan seluang dan barang lainnya
merupakan barang wajib yang harus disiapkan sebelum acara dimulai. Lele dan
seluang memiliki makna makanan yang paling disukai oleh kamang. Ikan seluang
pun bukanlah ikan seluang yang biasa dijual di pasar-pasar. Ikan seluangnya
harus ikan seluang yang didapat dari uncak sungai, entah jenis ikan seluang
yang seperti apa yang dimaksudkan, Pak Tehon pun tidak dapat memberikan
deskripsi yang detail mengenai jenis ikan seluang yang dimaksud. Babi dan ayam
kampung merupakan lambang makanan khas masyarakat dayak. Tumpi Ranakng dan
tumpi kare’ merupakan kue yang terbuat dari tepung beras. Tumpi Ranakng biasa
juga disebut cucur berwarna agak kehitam-hitaman dangan rasa yang manis. Tumpi
kare’ berwarna putih dengan rasa yang asin. Ranakng dan kare’ bermakna keseimbangan
antara makanan dengan rasa asin dan manis, karena tidak selamanya manusia makan
makanan yang manis, terkadang juga makanan dengan rasa asin, jelas Tehon.
Tempayan digunakan untuk membuat mandong
pakat, yakni sejenis aturan yang disepakati oleh masyarakat sewaktu mengadakan
keramaian. Aturan tersebut biasanya larangan agar antarmasyarakat atau warga
untuk tidak membuat keributan, perkelahian dan masalah lainnya yang dapat
menggangu berjalanannya upacara.
Pasu atau mangkok besar akan digunakan
untuk menyimpan air yang memang sudah dibacakan mantra. Air tersebut digunakan
untuk memerciki orang bila ada yang kerasukan. Kerasukan tersebut biasanya
timbul karena orang tersebut melanggar pantang.
Berbagai sesajian yang telah disiapkan
akan disimpan di jangka. Jangka adalah semacam meja yang dibuat untuk menyimpan
berbagai sesajian. Jangka tersebut dihiasi dengan daun kelapa. Pada saat
upacara merinting, akan dilaksanakan dengan membacakan mantra di jangka yang
berisi sesajian. Jangka biasanya dibuat di depan rumah, atau di halaman rumah.
Tempat pelaksanaan notokng dilakukan di
rumah domong/ kepala kampung, temenggung, atau kepala adat. Hal ini merupakan
hal yang wajib walaupun keluarga yang mengadakan notokng tersebut bukan
keluarga dari kepala kampung atau masyarakat yang tinggal berlainan rumah
dengan kepala kampung. Tengkorak-tengkorak yang ada di rumah warga dipindahkan/
dibawa ke rumah domong, ketika memindahkan atau membawakan tengkorak dari rumah
yang menyimpan tengkorak tersebut ada juga ritual yang dilakukan, yakni upacara
penjemputan tengkorak-tengkorak tersebut. Prosesi ritual tersebut diatur oleh
domong dan pawang yang akan memimpin upacara notokng. Setelah tiba di rumah
domong, tengkorak-tengkorak yang akan dinotokngkan disimpan di dalam rumah yang
di depannya terletak jangka.
Pawang atau bisa juga disebut dukun
merupakan orang yang akan memimpin jalannya ritual notokng tersebut. Pawang
juga dibantu oleh beberapa orang yang memang memiliki keahlian untuk membaca
mantra, dan orang-orang tersebut memang dipilih oleh pawang itu sendiri. Para
pawang dan pembantunya menggunakan sengkulas (kain yang diikatkan di kepala)
bewarna merah, dengan diselipkan daun ensabakng dan bulu burung ruai. Tidak ada
pakaian yang khusus atau pakaian khas dayak yang digunakan para pawang/ dukun,
pakaian yang digunakan biasa-biasa saja hanya bagian bawah menggunakan sarung.
Pada dasarnya notokng memiliki tiga
tahapan. Tahapan yang pertama disebut nyerah manta’, tahap yang kedua adalah
acara hiburan, dan yang ketiga adalah nyerah masak. Tahap nyerah manta memiliki
makna semacam pemberitahuan kepada kamang dan arwah empunya tengkorak bahwa
masyarakat kampung akan mengadakan notokng. Tahapan ini dilakukan pada hari
pertama acara notokng dilaksanakan. Ibarat memberikan undangan kepada orang
yang akan diundang seperti itulah tahapan ini.
Pada tahapan kedua, yakni acara hiburan.
Acara hiburan ini dimulai setelah tahap nyerah manta hingga menjelang tahap
nyerah masak. Jika notongnya selama tiga hari maka hari kedua dan ketiga
sebelum menjelang acara nyerah masak, diadakan acara hiburan. Begitu juga
dengan notokng selama tujuh hari. Namun pada notokng satu hari acara ini
tidaklah dilakukan karena notong satu hari pun sifatnya bukan untuk pesta-pesta
atau perayaan panen melainkan suasana gawat darurat. Acara yang ada pada malam
hiburan ini kebanyakan berupa tari-tarian dan hiburan musik maupun berbalas
pantun. Pada intinya tidak ada hal yang penting atau bersifat sakral yang
dilaksanakan pada tahap hiburan ini, begitu yang dijelaskan Tehon. Irama musik
yang dimainkan merupakan irama-irama yang santai. Irama santai dalam ritual
notokng dinamakan nenggok. Alat musik yang digunakan adalah alat musik yang
tradisonal misalnya kulintang, dan gong. Masyarakat yang datang boleh
menari-nari, begitu juga dengan pemain musiknya boleh bergantian.
Setelah tahap hiburan selesai pada malam
terakhir, pawang atau dukun yang memimpin ritual notokng akan memberikan tanda
bahwa acara puncak akan dimulai. Ritual ini ditandai dengan irama musik yang
dimainkan. Berbeda dengan irama musik hiburan, musik pada acara ini lebih keras
dan mungkin terdengar seram. Tahapan ini disebut merinting. Diiringi dengan
musik yang keras bahkan mungkin terdengar seram, pawang dan pembantunya
mengelilingi jangka, semacam tempat yang berbentuk meja yang digunakan untuk
menyimpan sesajian, untuk membacakan mantra. Pada tahapan inilah arwah akan
datang untuk menikmati sesajian yang disediakan. Tetapi bukan berarti pada
malam-malam sebelumnya arwah tidak hadir, hanya saja pada upacara merinting
adalah waktunya untuk mereka makan sesajian. Setelah merinting selesai, pawang
akan memberikan tanda kepada pemain musik untuk mengganti irama musik dari
irama yang keras keirama nenggok. Setelah itu para pawang/ dukun akan menari.
Tarian ini disebut tarian notokng. Setelah selesai ritual ini maka upacara
notokng telah selesai, tingal pawang meyampaikan pantang bagi masyarakat
kampung. Walaupun hal yang bisa dikatakan acara inti telah selesai tetapi
biasanya hiburan dapat belangsung hingga pagi hari.
Biasanya pada saat notokng, tak hanya
masyarakat kampung yang mengadakan notokng saja yang datang untuk menonton.
Masyarakat yang dari kampung lain, bahkan kampung yang jauh sekali pun biasanya
datang, karena notokng juga termasuk dalam acara keramaian yang menarik minat,
terutama bagi dara dan bujang. Mereka yang datang dari luar kampung juga harus
berpantang. Pantangan bagi masyarakat yang ingin melihat/ menonton acara
notokng adalah sebelum datang ke acara tersebut tidak boleh makan jeruk,
terasi, dan udang. Pantangan ini berlaku untuk warga yang bukan berasal dari
kampung yang mengadakan notokng tersebut. Bagi warga kampung tempat acara
notokng tersebut diadakan, jenis makanan yang disebutkan di atas tadi tidak
boleh dimakan selama acara notong dilaksanakan, jika notokng tiga hari, maka
tiga harilah masyarakat tidak boleh makan makanan itu. Makan tersebut diyakini
makanan yang tidak disukai oleh kamang. Bila ada yang makan makanan yang
dipantangkan biasanya akan terjadi kesurupan akibat dari kemarahan kamang,
terkadang bisa sampai meningal jika tidak dapat diatasi. Itulah gunanya pasu
yang berisi air yang sudah diberi mantra, untuk menawar/ mengobati orang yang
kerasukan.
Setelah upacara inti selesai, bagi
masyarakat kampung yang mengadakan notokng ada pantangan tambahan yang harus
mereka taai. Pantang tersebut adalah masyarakat tidak boleh pergi keluar atau
menerima tamu dari luar kampung. Jika ada masyarakat yang keluar atau datang
makan kembalinya harus setelah masa pantang berakhir. Selain itu masyarakat
juga dilarang untuk membuat sesuatu yang dapat mengganggu kebisingan misalnya
tidak boleh berteriak-teriak, tidak boleh menyalakan musik dengan suara yang
nyaring, tidak boleh menghidupkan mesin yang dapat menimbulkan suara bising.
Pantangan ini berlaku selama tiga hari, setelah itu masyarakat dapat kembali
seperti hari-hari biasanya.
Menurut Tehon, apa yang telah disampaikan
dan diceritakannya masih banyak yang terlewatkan karena sudah lama sekali
masyarakat Dayak Mali, khususnya di desa Kebadu tidak melakukan notokng. Tidak
ada catatan dalam bentuk tulisan juga membuat semuanya tak dapat diingat, hanya
mengandalkan ingatan yang kian hari kian berkurang tidaklah cukup. (rw*)