Tentang Secangkir Kopi

raymunduswendi | Juli 26, 2011 | Jadilah yang pertamax!
Mulai dari sejarah nama secangkir kopi dengan slogan "tadi bubuk sekarang ampas", hingga isi perut bolg.

Mulai dari sejarah
Nama blog ini terinspirasi dari kebiasaan buruk saya. Benda yang bernama kopi itu rasanya tak bisa jauh dari diri saya. Intinya tiada hari tanpa kopi, tanpa kopi hari terasa hampa. Buruk banget ya. Hobi kopi atau suka ngopi memang sudah dilakoni sejak lama. Dimulai dari rumah, hingga asrama, kost-kosatan, hingga kini. Jika dihitung mungkin sudah berkarung-karung kopi yang terhabiskan oleh saya. Entalah kalau ampasnya.

Kopi identik dengan hitam, tapi entah kenapa sekarang ada yang namanya luwa* whit* coffee. Kopi juga identik dengan minuman penghilang kantuk, katanya sih. Banyak orang yang setelah minum kopi rasa kantuk yang tadinya membuat ngantuk menjadi hilang alias melek lagi. Dan pada prinsipnya jika hedak tidur maka janganlah kamu minum kopi. Tapi sepertinya hal tersebut tak berlaku bagi saya, bahkan kadang sebelum tidur malah ngopi dulu, ndak ngepek tuh, atau emang dah kebal atau penyakit. Biarkan sajalah.

Berdasarkan penjelasan singkat di atas [skripsi mode on] maka dapat disimpulkan bahwa penulis merasa tertarik dengan judul [nama blog] "Secangkir Kopi" beserta slogannya, "tadi bubuk sekarang ampas", dikarenakan beberapa pertimbangan, baik buruknya; bebet bobotnya berdasarkan pengalaman dan pengamatan serta efek pertemanan terhadap cangkir kopi. 

Lanjut ke isi perut blog.
Tulisan-tulisan [postingan] dalam blog ini  merupakan perpaduan atara realita para penderita sastra gadungan, bloger gadungan [juga], mahasiswa tua, dan beberapa hal seputar perangkat mengenai dunia pembelajaran. Selain hasil perpaduan dari berbagai tulisan dari tugas kuliah, pengamatan terhadap lingkungan, batin, dan sosial. Tulisan dalam blog ini juga merupakan postingan ulang [repost] dari beberapa sumber yang menurut saya bolehlah saya postingkan dalam blog saya. Walau banyak repost tak masalah asal sumber awal tetap dicantumkan.

Bila ditanya genre apa blog ini? Kadang binggung juga mau jawab apa. Itu dikarenakan isi [postingan] dalam blog ini campur-baur, tak ada kejelasan masuk genre apa. Ada keinginan juga untuk membuatnya menjadi satu blog yang punya genre tetap, genre copy paste misalnya, atau genre sastra. Tapi entahlah, biarkan saja. Mungkin banyak genre dengan macam postingan yang berbeda itu indah, iya karena perbedaan itu indah, entahlah. 

Akhirnya, inilah qoute yang mungkin bisa kuberikan untuk pembaca: 
Ada hati yang tak dapat kumengerti, tapi tak ada kopi yang tak dapat kunikmati (termasuk copy paste)
Maaf kalau postingannya agak cacat, harap maklum.
*Suatu saat mungkin diperbaharui lagi


Menggali Kembali Budaya Notokng dalam Adat Masyarakat Dayak Mali di Desa Kebadu

raymunduswendi | Juli 09, 2011 | || Jadilah yang pertamax!
Cuaca yang terlalu cerah membuat suasana menjadi begitu panas hari itu. Namun hal itu tak mengurungkan niatku untuk melakukan perjalan pulang kampung ke Batang Tarang. Perjalanan dari Pontianak menuju Batang Tarang tidaklah begitu jauh, hanya saja kondisi jalan yang belum begitu mulus membuat perjalanan cukup memakan waktu serta skill mengemudi di jalan tanah kuning serta bebatuan kecil. Jumat, 1 Juni 2011 pukul 13.30 kupacu sepada motor untuk berangkat menuju Batang Tarang, kampung halamanku. Bukanlah yang yang berat bagiku untuk melewati jalan trans Kalimantan yang belum begitu mulus itu, karena jalan itulah rute yang selalu ku tempuh saat pergi maupun pulang ke Pontianak. Namun satu hal yang cukup mengkhawatirkan, kondisi dompet yang begitu tipis membuat perasaan was-was, andai saja terjadi sesuatu yang tak diinginkan pada motorku, maklum tanggal masih terlalu muda. Untungnya hal yang tak diharapkan memang tak terjadi, datang ke rumah kira-kira pukul 15.30.

Tujuan utama dari perjalan yang kutempuh adalah untuk bertemu dengan seorang kepala adat yang ada di Kampung Timpel (biasa juga disebut Kampung Peluntan) dengan maksud untuk menanyakan tentang upacara notokng dalam adat masyarakat Dayak Mali. Bartolomeus Tehon, itulah namanya, seorang kepala adat yang sudah berusia 77 tahun ini bukanlah orang yang mudah ditemui. Selain sibuk dengan urusan-urusan adat ia juga aktif di Credit Union (CU).

Malam (2/7) sekitar pukul 07.00, aku mendatangi kediaman Pak Tehon sekedar bermaksud untuk membuat janji pertemuan untuk melakukan wawancara tentang cerita notokng itu. Kebetulan saja malam itu ia tak memiliki kesibukan, lalu ia pun mulai bercerita panjang lebar mengenai Dayak Mali. Orang tua yang pernah mengikuti pertemuan di Dayaklogi Pontianak beberapa tahun silam pernah memaparkan bahwa sebenarnya nama suku dayak yang ada di kecamatan Balai Batang Tarang itu sebenarnya bukan mali. Subsuku dayak yang ada di kecamatan itu ada empat yakni mali, peruna, taba, dan keneles. Mali adalah satu di antara subsuku dayak yang ada di Balai Batang Tarang. Sebenarnya nama suku dayak yang yang ada di kecamatan ini bernama tarakng, hanya saja karena pada masa lampau, ada seseorang dari Kampung Mali yang bernama Angkis mampu mengalahkan raja di Pontianak, sehingga membuat nama mali itu terkenal hingga sampai saat ini pun nama itulah yang lebih sering masyaratkat gunakan, ungkap Tehon. Setelah bercerita panjang lebar tentang Dayak Mali, barulah ia memulai bagaimana notokng itu sebenarnya.